|

Dalil Zakat Profesi


 


Kardita Kintabuwana Lc.






Dewan Syariah Rumah Zakat Indonesia






Hasil profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa salaf (generasi
terdahulu), oleh karenanya bentuk pendapatan ini tidak banyak dibahas,
khususnya yang berkaitan dengan \\\"zakat\\\". Lain halnya dengan bentuk
pendapatan yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan
dan perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan
detail.


Zakat
profesi merupakan ijtihad para ulama di masa kini yang nampaknya
berangkat dari ijtihad yang cukup memiliki alasan dan dasar yang juga
cukup kuat. Akan tetapi tidak semua ulama sepakat dengan hal tersebut.


Diantara
ulama kontemporer yang berpendapat adanya zakat profesi yaitu Syaikh
Abdur Rahman Hasan, Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Abdul Wahab
Khalaf dan Syaikh Yusuf Qaradhawi. Mereka berpendapat bahwa semua
penghasilan melalui kegiatan profesi dokter, konsultan, seniman,
akunting, notaris, dan sebagainya, apabila telah mencapai nishab, maka
wajib dikenakan zakatnya. Para Peserta Muktamar Internasional Pertama
tentang zakat di Kuwait pada 29 Rajab 1404 H / 30 April 1984 M juga
sepakat tentang wajibnya zakat profesi bila mencapai nishab, meskipun
mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya. Pendapat ini
dibangun berdasarkan :


Pertama, Ayat-ayat
Al-Qur’an yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk
dikeluarkan zakatnya, seperti dalam QS. At-Taubah: 103, QS. Al-Baqarah:
267, dan QS. Adz-Zaariyat: 19, demikian pula penjelasan Nabi SAW yang
bersifat umum terhadap zakat dari hasil usaha/profesi.


Dalam
ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa segala hasil usaha yang baik-baik
wajib dikeluarkan zakatnya. Dalam hal ini termasuk juga penghasilan
(gaji) dari profesi sebagai dokter, konsultan, seniman, akunting,
notaris, dan sebagainya. Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an
juga penah menyatakan bahwa nash ini mencakup seluruh hasil usaha
manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan
Allah SWT dari dalam dan atas bumi, seperti hasil-hasil pertanian,
maupun hasil pertambangan seperti minyak.


Karena
itu nash ini mencakup semua harta baik yang terdapat di zaman
Rasulullah SAW maupun di zaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan
zakatnya dengan ketentuan dan kadar sebagaimana diterangkan dalam sunnah
Rasulullah SAW, baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun yang
diqiyaskan kepadanya (Fi Zilalil Qur’an: Juz 1, hal 310-311).


Imam
Al-Qurtubi dalam Tafsier Al-Jaami’ Li Ahkaam Al-Qur’an pernah mengutip
perkataan Muhammad bin Sirin dan Qathadaah yang menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan kata-kata “Amwaal” (harta) pada QS.
Adz-Zaariyaat: 19, adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta
yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi
persyaratan kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya. (Tafsir
Al-Jaami’ Li Ahkaam Al-Qur’an, Jilid 9, hal 37).


Kedua :
Berbagai pendapat para Ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan
menggunakan istilah yang berbeda. Sebagian dengan menggunakan istilah
yang bersifat umum yaitu “al-Amwaal”, sementara sebagian lagi secara khusus memberikan istilah dengan istilah “al-maal al-mustafaad” seperti terdapat dalam fiqh zakat dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Dimana mereka mengatakan bahwa harta tersebut wajib dikeluarkan zakatnya.


·      Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra tentang seorang laki-laki yang memperoleh hartanya (al-maal al-mustafaad) beliau berkata: “Dia keluarkan zakatnya pada hari dia mendapatkan harta itu” (Al-Amwaal, hal. 413).


·      Abu Ubaid meriwayatkan dari Hubairah bin Yarim berkata: “Adalah Ibnu Mas’ud ra memberi kami al-‘athaa’ lalu beliau mengambil zakatnya” (Al-Amwaal, hal. 412).


·      Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab dalam kitab Muwatha’ berkata: “Yang pertama mengambil zakat dari al-a’thiyah adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan” (Muwatha’ ma’al Muntaqaa juz 2 hal 95).


·      Abu Ubaid menyebutkan bahwa Umar bin Abdul ‘Aziz apabila memberi al-‘umalah kepada seseorang maka beliau mengambil zakatnya; apabila mengembalikan al-mazhaalim (kepada yang berhak) maka beliau mengambil zakatnya; beliau juga mengambil zakat dari al-a’thiyah apabila diberikan kepada penerimanya” (Al-Amwaal, hal 432).


Ketiga :
Dari sudut keadilan yang merupakan ciri utama ajaran Islam penetapan
kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat
jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada
komoditi-komoditi tertentu saja yang konvensional.


Keempat :
Sejalan dengan perkembangan kehidupan umat manusia, khususnya dalam
bidang ekonomi, kegiatan penghasilan melalui keahlian dan profesi ini
akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan akan menjadi
kegiatan ekonomi yang utama, seperti terjadi di negara-negara industri
sekarang ini. (Ruuh al-Dien al-Islamy, hal. 300)


Wallaahu a’lam bi ash-shawaab

Posted by Unknown on 08.58. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Recently Commented

Recently Added